Banyak orang tidak mengetahui makna kata Minangkabau apalagi menanyakan sejarahnya. Sekalipun berasal dari suku Minangkabau sendiri amat jarang yang mampu menjelaskan secara jelas dan meyakinkan kepada orang luar suku Minangkabau. Sungguh fenomena yang sangat memprihatinkan kita semua. Apalagi melihat dan mencermati kondisi saat ini, banyak sekali generasi muda Minangkabau yang sudah jauh dari adat dan agamanya, padahal Minangkabau itu memiliki dua identitas yang patut dibanggakan yaitu agama Islam dan adat istiadatnyanya.
Dua kata itu dikatakan oleh orang Minang "Adaik nan dak lakang dek paneh, nan dak lapuak dek ujan" (Adat yang tidak lekang oleh panas dan tidak lauk oleh hujan). Artinya Agama Islam dan Adat Istiadat orang Minangkabau adalah pedoman kehidupan masyarakat yang tidak kenal batas waktu dan tempat harus dipakai dunia dan akhirat. Dimanapun berada, adat dan agama tidak boleh ditinggalkan dan tidak boleh dibiarkan, walalupun perkembangan zaman telah begitu canggih dan ilmu pengetahuan berkembang pesat, namun adat dan agama tetap berada dalam kalbunya orang minang. Pepatah minang mengatakan "adaik lamo pusako Usang" (Adat lama, pusaka Usang) itu mesti ditanam dalam diri generasi kita Minangkabau dengan falsafahnya "Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" (Adat berdasarkan Syara', Syara' berdasarkan Kitabullah).
Sejarah Minangkabau itu terukir dalam Gurindam dan Tambo. Tambo adalah ungkapan kata-kata dan tulisan dalam pepatah-petitih nenek moyang yang menceritakan asal-usul negeri Minangkabau. Dikatakan, pemaknaan kata Minangkabau merupakan pemaknaan kata secara historical. Disebutkan dalam tambo itu
Dimano asa titiak
palito
Di baliak telong nan
batali
Dari mano asa niniak
kito
Di puncak Gunuang
Marapi
Untaian pantun indah di atas dapat ditemui dalam buku-buku gurindam adat dan
Tambo Alam Minangkabau. Orang Minang me-ma’lum-kan dalam Tambonya bahwa
ninik moyang mereka dinisbahkan kepada Alexander Agung penguasa dan penakluk
dunia berkebangsaan Yunani yang di dalam al-Qur’an disebut dengan Iskandar
Zulqarnain.
Sebelum memaparkan penafsiran gurindam Tambo di atas penulis ingin menyatakan
bahwa sangat sulit memastikan kebenaran kesamaan antara Alexandernya Orang
Minang Zulqarnain dengan Zulqarnainnya penguasa bertauhid dalam al-Qur’an.
Begitu juga dengan Maharajo Alif. Maharajo Dipang. Dan Maharajo Dirajo yang
datang ke pulau Ameh Ranah Minang tercinta ini. Kesulitan ini dirasakan karena
tidak adanya bukti sejarah yang jelas yang menhubungkan keduanya.
Sebagaimana kebiasaan tradisi lisan masyarakat Minang yang tertuang dalam
falsafah mereka “ Kok satititiak bapantang lupo, sabarih bapantang
hilang, kato nan biaso bakieh, rundiang nan biaso bamisa”.Pepatah
ini menggambarkan bahwa pemahaman tambo tentu tidak tepat kalau dibedah dengan
pisau analisis ilmiah dan sejarah semata. Pemahaman tambo tentunya perlu ditempatkan
pada medan bedah dengan menggunakan pisau dalam konteks kiasan dan
perumpamaan.
Tulisan ini mencoba memberikan satu bentuk penafsiran tambo yang tentunya
sangat debatable. Ada kemungkinan kesamaan tokoh dalam babak
kisah tambo terutama Zulqarnaini dengan tiga putranya yang dalam
perkembangannya dari anak yang bungsu si Maharajo Dirajo yang kemudian memiliki
pelanjut yang kita kenal dengan Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan
Sabatang yang dibangsakan dengan awal mula berdirinya kominitas orang Minang.
0 komentar:
Posting Komentar